Antara Rasa dan Filosofi Kopi, Aku dan Kehidupan

Mungkin tidak semua orang menyukai kopi dan bertanya apa sih nikmatnya meminum kopi? Toh ini hanyalah sekedar minuman biasa. Paling- paling rasanya pahit dan kalau kebanyakan akan membuat kita sulit tidur, bikin jantung berdebar, itu saja. Tetapi jangan salah sangka dulu. Memang benar jika kopi hanyalah sejenis minuman. Namun itulah uniknya kopi. Dibalik rasanya yang pahit dan warnanya yang hitam kelam, segelas kopi mampu memberikan arti dan juga menciptakan suasana yang berbeda saat mengobrol dengan orang lain.

Secangkir kopi dapat berfungsi sebagai penyatu sosial masyarakat. Di warung kecil pinggir jalan atau di kafe mewah, orang-orang dari berbagai lapisan berkumpul jadi satu sambil menikmati secangkir kopi. Setiap orang menikmati kopi dengan cara yang berbeda. Ada yang menyukai kopi susu, kopi tubruk, kopi hitam murni, pahit, manis, panas ataupun dingin. Semua tergantung pada selera masing- masing. Pandangan tentang nilai-nilai dalam secangkir kopi bisa dibaca disini (http://www.radhitisme.com/2016/06/nilai-sosiologis-secangkir-kopi.html?m=1)

Dari warnanya yang hitam dan rasanya yang pait, kopi seperti diibaratkan hidup yang secara kasat mata mengerikan dan suram ‘paitnya hidup. Pandangan itu akan dibayar dengan kenikmatan kopi saat kopi diseduh pakai air hangat dan dicampur dengan gula. Di sini kopi di perbandingkan dengan kenikmatan hidup yang selau bersembunyi di sisi lain paitnya hidup. Seperti musibah yang selalu diberengi dengan hikmah yang melekatinya, seperti masalah yang selalu datang beserta solusinya.

Hidup yang bagaikan kopi adalah sebuah kewajaran. Sebanyak apapun gula yang kita berikan, tidak akan pernah menghilangkan rasa pahit yang melekat dalam kopi. Begitupun kehidupan, sejauh-jauhnya kita menghindar masalah, maka masalah akan selalu membayangi dalam pelarian. Hidup adalah masalah, oleh karenanya, masalah adalah tantangan hidup untuk dihadapi. Menghadapi masalah itu sebuah penghargaan atas hidup dalam sebuah pilihan dan kehendak besar yang melekatkan tanggung jawab sebagai insan. Itulah syukur atas nikmat dan karunia dalam bentuknya yang tidak kita tawar-tawar. Hadapi semuanya dengan senyuman dan kerja keras. Berdoa, ikhtiar, ikhlas, syukur dan istiqomah, nasehat pak kyai saat kecil di madrasah & pengajian.

Seteguk kopi yang melukiskan tersaji dalam adukan babak kehidupan. Air dan minyak tak pernah menyatu, tetapi menyeduh kopi ditambah gula dibarengi sebiji pisang goreng hangat adalah kenikmatan santap pagi,sore atau malam.Mungkin itulah hidup, di balik ke-tidak menyatunya beberapa orang dan golongan akan dapat menyatu karena ada mediasi dengan kejernihan kepala dan akal fikir yang sehat. Sembari menekan egosentris dengan qolbu dan akal atas potensi diri sebagai makluk teristimewa yang menjadi puncak ciptaan atas sang Khaliq.

Hidup ini indah, seindah Tuhan menciptakan keharmonisan alam. Semuanya berjalan dengan keteraturan. Semuanya saling memberikan kebermanfaatan. Dan sebaik-baiknya kita sebagai makhluk pun demikian adanya. Menjadi orang baik adalah ketika bermanfaat untuk sesama. Maka memberi kerugian kepada sesama adalah memberi kerugian dalam keutuhan hidup. Maka sudah sepantasnya pula kita memilih pada sesuatu kebenaran yang member kebermanfaatan.

Ah secangkir kopi tak terasa telah habis dalam tegukan kenikmatan. Rasanya mencair dibarengi lembaran kertas putih yang terukir dalam nada- nada kata oleh goresan tinta proses. Semoga akan menjadi album menyambut hari meraih mimpi.

Nilai Sosiologis Secangkir Kopi



Kopi Susu Kong Djie - Belitung
Kopi Dalam Berbagai Perspektif
Kopi, adalah minuman yang istimewa. Secangkir kopi dapat ditelaah dari berbagai perspektif keilmuan baik ilmu sejarah, ilmu ekonomi bahkan ilmu sosiologi. Dari perspektif sejarah, kopi merupakan sebuah produk dan komoditas yang berasal dari wilayah Etiopia pada Abad VI Ms lalu dikelola di wilayah Arabia, Etiopia dan Turki pada Abad 16 Ms hingga mengalami perjalanan jauh ke Eropa melalui proses transaksi perdagangan pada Abad 17 Ms sebelum pada akhirnya masuk ke Hindia Belanda pada pada tahun 1690 (James Grierson, History of Coffee: Part I - Africa and Arabia). 

Dari perspektif filsafat, secangkir kopi melahirkan sejumlah permenungan filosofis sebagaimana tergambar dalam sejumlah ungkapan sebagai berikut “Hidup itu ibarat secangkir kopi, kadang terasa pahit kadang terasa manis”, “Jalani hidup seperti menikmati secangkir kopi, minumlah secara perlahan dan nikmatilah semua yang dinikmati, maka kau akan mengetahui apa yang sedang terjadi”, “Kopi itu terbagi menjadi dua bagian yaitu kopi berkualitas baik (arabica) dan kopi berkualitas sedang (robusta). Demikian pula kehidupan ini ada yang menjalaninya dengan baik dan ada yang menjalaninya secara biasa-biasa saja, tinggal kita mau memilih yang mana”. Beberapa penggalan kalimat tersebut dapat pula ditelusuri dalam adegan film berjudul, Filosofi Kopi yang bercerita tentang Ben (Chicco Jericho) dan Jody (Rio Dewanto) dimana Ben merupakan seorang barista yang handal dalam meramu kopi yang bekerja sama dengan Jody, dengan mendirikan suatu kedai kopi yang disebut Filosofi Kopi Temukan Diri Anda Di Sini.

Dari perspektif ekonomi, secangkir kopi memiliki nilai tukar dan nilai pakai. Karl Marx membuat pembagian nilai yang terkandung dalam sebuah komoditas menjadi bernilai pakai (value in use) dan bernilai tukar (value in exchange). Nilai pakai adalah “nilai barang diukur dari kegunaannya untuk memenuhi kebutuhan tertentu” sementara nilai tukar adalah, “nilai barang jika diperjualbelikan di pasar” (Frans Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, 2001:181-182). Secangkir kopi bernilai tukar karena kopi yang kita minum tidak diperoleh dengan cuma-cuma melainkan diperoleh dengan mengeluarkan sejumlah uang melalui proses jual beli. Secangkir kopi bernilai pakai saat kita merasakan manfaat dan kenikmatan dalam meminum secangkir kopi.

Mengenal Kehidupan Sosial Melalui Secangkir Kopi
Dari perspektif sosiologi, secangkir kopi bukan hanya bernilai tukar dan bernilai pakai, namun secangkir kopi menceritakan banyak hal mengenai perilaku sosial sebuah masyarakat. Karena sosiologi adalah ilmu pengetahuan sosial yang berupaya menganalisis aspek statis dari masyarakat (struktur sosial) maupun aspek dinamis sebuah masyarakat (dinamika sosial), maka melalui secangkir kopi kita dapat memotret dan menganalisis berbagai perilaku sosial masyarakat. Dengan kata lain, kita bisa mempelajari sosiologi melalui secangkir kopi.

Kopi Sebagai Minuman Egaliter
Egaliter artinya setara, sederajat. Kopi, merupakan minuman yang tidak mengenal pembedaan kelas sosial. Semua kalangan bisa menikmati secangkir kopi, mulai dari seorang petani, pedagang, peladang, nelayan, buruh, karyawan berdasi hingga para pemimpin perusahaan serta politisi. Itulah sebabnya saya katakan bahwa kopi adalah minuman yang bersifat egaliter karena semua orang dapat mengonsumsi kopi sekalipun ada pembedaan merk dan kualitas kopi tentunya yang mengakibatkan tidak semua orang bisa mengakses kopi-kopi tertentu yang bermerk internasional. Berbeda dengan anggur atau minuman-minuman beralkohol yang tentunya hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki status ekonomi yang lebih baik. Hal dapat dipandang bahwa kopi adalah "... kata kerja di mana manusia hidup di dalamnya. Kopi hampir selalu ada di setiap petak kehidupan manusia. Kopi lalu menjadi semacam pintu waktu yang menghubungkan berbagai dimensi kehidupan" 

Kopi Sebagai Representasi Kelas dan Status Serta Peranan Sosial
Status atau kedudukan didefinisikan sebagai “tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial”. Sementara peranan adalah, “aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan” (Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, 2013:210-212). Dalam sosiologi, status atau kedudukan seseorang dibagi dalam tiga bagian yaitu ascribed status yaitu sebuah kedudukan yang diperoleh oleh seseorang melalui sebuah proses kelahiran dan pewarisan. Berikutnya adalah achieved status yaitu sebuah kedudukan yang diperoleh melalui usaha dan kerja keras seseorang. Ada pula yang menambahkan dengan assigned status yaitu sebuah kedudukan yang diberikan atau dianugrahkan. 

Selain konsep tentang status dan peranan ada juga konsep tentang kelas sosial yaitu pelapisan sosial seseorang dikarenakan jenis pekerjaan, pendapatan, pengetahuan, kekayaan, kekuasaannya. Baik buruh, nelayan, petani, pedagang, pengusaha, politisi terkategori sebagai status yang diperoleh dengan daya upaya melalui bekerja. Dengan kata lain status yang mereka miliki terkategori sebagai achieved status . Namun demikian, mereka yang minum di kedai kopi Starbucks, tentu dapat dengan mudah kita kategorisasi sebagai orang-orang yang sekalipun terkategori achieved status, namun mereka memiliki kelas sosial dan status sosial yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berstatus sebagai petani, pelang, nelayan. Mereka yang sedang kongkow bersama dengan gelak tawa meminum secangkir kopi di warung atau kedai angkringan sembari membicarakan kebijakan-kebijakan pemerintah diselingi ketidakpuasan-ketidakpuasan serta caci maki, tentu dapat dikategorisasi sebagai kelompok dengan kelas sosial menengah ke bawah.

Berkaitan dengan pengungkapan status dan kelas sosial, Ulil Abshar Abdala mengulas dengan apik sejumlah perilaku meminum kopi di kota-kota besar sebagai bentuk "etestisasi kehidupan” yang dikaitkan dengan pengungkapan dan aktualisasi status sosial sebagaimana dikatakan, “Di kota-kota besar sekarang, kita mulai melihat gejala estetisasi atas kehidupan. Ia muncul dalam pelbagai ragam bentuk. Orang-orang tak sekedar ingin makan sebagai keniscayaan hidup untuk menghindarkan diri dari kelaparan yang mematikan. Mereka ingin makan dengan sebuah gaya – an eating with style. Mereka tak sekedar ingin minum untuk menghalau haus, tetapi minum secara estetis. Mereka memilih minuman tertentu, dengan merek tertentu, yang memberikan kepada mereka sebuah fantasi tentang sesuatu yang lebih besar"

Kopi Sebagai Media Interaksi Sosial
Interaksi sosial ditandai dengan kontak sosial dan komunikasi (Dra Parwitaningsih, Pengantar Sosiologi, 2009:2.9-2.10). Interaksi sosial selalu mengambil bentuk yang bersifat asosiatif (menuju ke arah kerjasama dan persatuan) maupun bersifat disosiatif (menuju pada perpecahan dan perselisihan). Bentuk interaksi sosial asosiatif dapat kita lihat dalam beberapa gejala yang dinamakan akomodasi (kedua belah pihak mengambil hubungan yang setara dan saling menampung gagasan masing-masing) dan asimilasi (kedua belah pihak saling mengidentifikasi dirinya untuk mencapai tujuan bersama). Sementara interaksi sosial yang bersifat disosiatif dapat dilihat dalam beberapa gejala seperti  kompetisi (persaingan), kontravensi (boikot) serta konflik (perselisihan terbuka yang dalam derajat tertentu disertai dengan ancaman dan kekerasan). Meminum secangkir kopi dalam sebuah pertemuan bersama-sama mencerminkan bentuk interaksi sosial yang bersifat asosiatif dimana pihak-pihak yang terlibat di dalamnya saling berkontak dan berkomunikasi dalam relasi yang bersifat simetris dan sederajat. Dalam banyak kasus, secangkir kopi menjadi penanda dan penyerta sebuah interaksi sosial beberapa kelompok sosial tertentu, sehingga meningkatkan makna dalam sebuah interaksi sosial.

Kopi Sebagai Media Lahirnya Karya Kreatif
Kita kerap menghubungakan kopi dengan aktifitas intelektual mulai dari diskusi sastra dan politik di warung kopi angkringan sampai kedai kopi prestisius dan berkelas. Istilah kopi kerap disandingkan dengan istilah diskusi, sebuah istilah yang merefleksikan kegiatan intelektual. Istilah kopi kerap disandingkan dengan membaca, sebuah kegiatan yang merefleksikan proses belajar sekaligus penemuan gagasan dan ide-ide kreatif. Sejumlah tokoh ternama seperti Robert Boyle (penemu hukum Boyle dan kimia modern), Henri Poincare (matematikawan), Beethoven (komposer) dan Balzac (Novelis), kerap menjadikan kopi sebagai teman hidup yang membangkitkan kreatifitas sehingga melahirkan sejumlah karya monumental. Secangkir kopi telah menemani terjadinya proses dan produksi kreatif serta intelektual baik di bidang keilmuan eksakta maupun sosial bahkan seni dan satra.

Kasus Kopi Sianida dan Pergeseran Makna Meminum Kopi
Sejak peristiwa terbunuhnya seorang wanita bernama Mirna di sebuah kedai kopi melalui serbuk sianida yang terkandung dalam kopi yang diminumnya dengan seseorang yang kini ditersangkakan bernama Jessica, perilaku meminum kopi bisa menjadi sebuah modus operandi untuk melenyapkan nyawa seseorang yang tidak disukai. Maka muncullah berbagai meme (saya lebih senang mendefinisikannnya secara deskriptif sebagai sebuah gambar yang berisi lelucon atau sindiran serta kritik sosial terhadap sebuah peristiwa sosial yang disebarluaskan secara viral melalui media sosial seperti facebook dan whatsap serta media sejenis) yang berisikan lelucon al, berisikan wajah Jessica dan kalimat  al., “Bang…ngopi yuk? Eneng yang traktir…” atau kalimat, “Jangan pernah ngaku pecinta kopi, kalau belum pernah nyoba kopinya Mirna…” Tidak kalah menggelikannya saat ada sejumlah foto wanita mulai dari tentara, polisi, suster, satpol pp dan terakhir wajah Jessica. Di atas foto-foto tersebut ada kalimat, “Mau yang mana mas?” Di bawah foto wanita berpakaian militer muncul kalimat, “mau dibanting?” di bawah foto wanita berpakaian polisi muncul kalimat, “mau ditilang?” di bawah foto wanita berpakaian suster muncul kalimat, “mau disuntik?” di bawah foto wanita berpakaian satpol PP muncul kalimat, “mau diangkut?” lantas giliran foto Jessica di bawah tertera kalimat, “mau ditraktir ngopi”. Bukan hanya menjadi sebuah modus operandi untuk melenyapkan seseorang namun telah menimbulkan sejumlah perilaku kehati-hatian di tengah masyarakat, sebagaimana muncul kalimat, “hati-hati entar di beri kopi sianida”.

Secangkir kopi bukan hanya berkisah mengenai dari mana kopi berasal dan kemana kopi menancapkan pengaruh dan aroma rasanya. Secangkir kopi dapat mengurai makna-makna terdalam sebagai refleksi dan analogi sebuah kehidupan yang kita jalani. Secangkir kopi berbicara mengenai perputaran ekonomi dan naik turunnya pendapatan dan keuntungan yang dialami negara dan pengusaha serta petani kopi. Bahkan secangkir kopi dapat berkisah mengenai struktur kehidupan sosial dan dinamika sosial dalam sebuah masyarakat, mulai dari status, peranan, interaksi bahkan dinamika perubahan sosial masyarakatnya.

Minumlah kopi Anda dan pelajarilah masyarakat dan kehidupan sosial di sekitar Anda…Sudahkan anda meminum kopi hari ini?


Era Demokrasi Para Pecundang

Dalam proses demokrasi, pemilihan umum (pemilu) merupakan proses pergantian kekuasaan yang sah. Melalui pemilu-lah, pimpinan eksekutif diangkat sesuai dengan kehendak dari rakyat. Seorang pasangan kandidat yang mempunyai suara terbanyak secara otomatis akan memperoleh legitimasi kuat untuk menjadi pemimpin di daerah tersebut. Sementara itu bagi kandidat yang gagal meraih suara terbanyak tidak akan mendapatkan mandat dari mayoritas rakyat menjadi pemimpin mereka. Pemilu secara langsung memang menghendaki suara mayoritas untuk meraih legitimasi kepemimpinan baik secara nasional maupun ditingkat lokal. 

Menjadi suatu hal yang lumrah apabila dalam kompetisi ada kalah dan menang. Selalu hanya ada satu orang pemenang di dalam setiap kompetisi. Suatu hal yang mustahil, sebuah wilayah dipimpin oleh dua, tiga, atau empat pimpinan daerah seperti Presiden, Gubernur, Bupati, maupun Walikota. Tidak mungkin ada lebih dari satu komandan dalam satu pleton pasukan. Pemimpin selalu hanya ada satu yang dibantu oleh beberapa orang untuk menjalankan tugas. 

Permasalahan yang muncul adalah ketika masing-masing kandidat yang saling berkompetisi gagal merespon dengan bijak hasil akhir pertarungan, baik yang kalah maupun yang menang. Pemenang yang memiliki mental buruk adalah yang merespon kemenangan dengan pesta berlebihan, melakukan show force yang mempunyai potensi merendahkan martabat lawan yang berhasil dikalahkan. Hal sebaliknya dilakukan oleh pihak yang kalah dengan berbagai kekisruhan, tuduhan kecurangan serta tindakan anarkis merupakan watak buruk yang gagal melihat kontestasi pemilu sebagai bagian dari pendewasaan demokrasi. 

Kualitas kenegarawanan seorang tokoh politik dapat diukur dengan cara dia merespon kemenangan  maupun kekalahan dalam sebuah persaingan. Donald Trumph –yang saat ini menjadi sebuah sensasi di Indonesia- memberikan nasihat:
“What separates the winners from the losers is how a person reacts to each new twist of fate”
(Hal yang membedakan para pemenang dari para pecundang adalah bagaimana seseorang bereaksi atas putaran nasibnya yang baru).
Seorang pecundang akan selalu memberikan respon negatif apapun hasil yang ia terima. Negatif dalam pengertian tidak memberikan sedikitpun respek terhadap lawan, bahkan kecenderungannya melakukan penginaan. Namun, apabila menjadi pemenang seorang pecundang meresponnya dengan euphoria dan merendahkan lawan yang menjadi pesaingnya; sebaliknya saat dirundung kekalahan dia sama sekali tidak mau menerima, dan akan selalu senantiasa berusaha dengan segala cara –termasuk dengan cara yang curang- agar memperoleh kemenangan. 

Hal ini berbeda dengan seseorang bermental juara yang selalu berfikir positif dalam merespon apapun hasil yang diperolehnya. Kekalahan dianggap sebagai cambuk untuk dapat selalu terus belajar serta memperbaiki diri, sebaliknya kemenangan dia respon dengan cara memberikan respek/perhatian dan rasa hormat pada lawan yang menjadi pesaingnya. Kemenangan –baginya- adalah tanggung jawab serta amanah untuk memenuhi janji politik. 

Seorang juara atau pemenang sejati akan selalu memposisikan lawan yang dihadapinya sebagai cermin. Dia tidak akan menghadapi lawan sevagai musuh yang harus dibenci, namun untuk bercermin agar dapat belajar dari lawannya tersebut. Seorang pemenang sejati akan memposisikan lawan sebagai guru bukan musuh. David Michell seorang Sastrawan AS mengungkapkan bahwa:
“If losers can exploit what their adversaries teach them; yes, losers can become winners in the long term”
(Andai saja para pecundang mau belajar dari lawan-lawan yang dihadapinya, niscaya para pecundang itu dapat menjadi pemenang dalam jangka waktu yang panjang)
Artinya, seorang pecundang adalah manusia yang tidak mau belajar dari situasi yang dia hadapai. Di dalam hatinya tumbuh begitu banyak kebencian. Kontestasi untuk merebut kekuasaan dipandangya sebagai ajang permusuhan. Karya-karya yang dihasilkan oleh lawan yang dia benci selalu diserang dan dikritik. Seseorang yang bermental pecundang, gesture tubuh dan mulutnya selalu diarahkan untuk merendahkan pesaingnya dan/atau lawannya. Dia adalah manusia yang gagal member respek dan rasa hormat.

Paulo Coelho, sastrawan terkemuka Brasil, menilai seorang pecundang adalah seorang idiot sekaligus pembenci sejati. Dia berkomentar -mengenai apapun- untuk menyerang lawan bukan untuk berdialog atau memberi saran secara konstruktif.  Coelho mengungkapkan:
“When you write an article about anything, trolls use the comments to attack. They feel frustrated - but haters are losers. It's not good to feed this aspect. It's more intelligent to be constructive”
(Saat Anda menulis sebuah artikel tentang apapun, orang-orang idiot mengomentarinya untuk menyerang. Mereka merasa frustrasi-para pembenci sejatinya adalah pecundang. Adalah tidak baik memberi asupan seperti ini. Adalah lebih cerdas berprilaku konstruktif)
Jelas, bagi Coelho, menghadapi seorang bermental pecundang merupakan pengalaman yang tidak mengenakkan, tidak bermanfaat dalam mengkualitaskan karya. Melihat kondisi seperti saat ini sepertinya mentalitas pecundang sudah mendarah-daging bagi para tokoh politik di negeri ini. Jargon “siang menang dan siap kalah” hanya menjadi pemanis saat pemilu akan dimulai. Karena pada faktanya kita tidak siap untuk menang dan tidak pula siap untuk kalah.

Revolusi Mental: Sebuah Retorika Politis Sang Presiden?

Revolusi mental, dua kata yang saat ini sudah akrab di telinga masyarakat sejak kampanya pilpres 2014. Sebuah kerangka program yang mampu memenangkan hati banyak orang sehingga mampu memenangkan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2014-2019. Yaaa, tentu saja euforia revolusi mental ini membuat masyarakat menaruh harapan tinggi terciptanya Indonesia yang maju, makmur dan sejahtera serta mandiri. Namun hingga saat ini revolusi mental masih sekedar retorika, dari Sang Presiden.

Istilah ‘Revolusi Mental’ telah banyak dipakai dalam sejarah filsafat dan politik baik di peradaban Barat maupun Timur. Dengan mendefinisikan ‘mental’ sebagai ‘segala sesuatu yang berkaitan dengan cara berpikir’, revolusi mental dapat diartikan secara umum sebagai suatu perubahan besar terhadap pemikiran-pemikiran dasar manusia yang terjadi dengan cepat. 

Revolusi Mental (Sumber: Tim Transisi Jokowi-JK)

Pemikiran idealis seperti ini memang sangat rentan menjadi slogan kampanye, meskipun seperti itu sepertinya masih banyak masyarakat yang menunggu realisasinya. Pemerintahan Jokowi-JK sebenarnya juga berupaya tidak memperlakukan revolusi mental hanya sekedar slogan belaka. Berbagai konsolidasi dan penajaman konsep telah dilaksanakan, namun hanya sebagian pihak saja yang mampu merealisasikannya. Hal ini terlihat hingga sekarang tidak terasa gebrakan revolusi mental yang 'menggairahkan' masyarakat. Sang Presiden terpilih sepertinya telah kehilangan ciri atau karakter yang menjadi daya pikat rakyat. Padahal, jargon revolusi mental telah menjadi trademark Pemerintah Jokowi-JK. Sebaiknya Pemerintah kembali ke nilai-nilai revolusi mental yang sebenarnya, bukan membiarkan diri terombang-ambing hasutan politik. 

Memahami Istilah
Hakikat dasar revolusi mental adalah 'mengembangkan nilai-nilai'. Agar perubahan revolusioner, nilai yang dikembangkan tidak boleh terlalu banyak dan harus bersifat 'strategis instrumental'. Hal ini berarti bila dikembangkan bisa mengangkat kualitas dan daya saing bangsa secara keseluruhan. 

Nilai-nilai tersebut tidak perlu disakralkan dan harus bersifat lintas agama agar tidak memunculkan perdebatan antargolongan. Revolusi mental baiknya tidak menargetkan sebuah moralitas pribadi seperti kesalehan individu, kerajinan menjalankan ibadah, dan sebagainya. Namun lebih diarahkan untuk membenahi moralitas publik, seperti disiplin di tempat umum, membayar pajak, tidak korupsi, tidak menghina maupun menganiaya kelompok lain, dan masih banyak lagi aspek lainnya. Moralitas pribadi memang penting, tetapi sebaiknya masuk ke ranah privat dan ranah agama. Revolusi mental cukup masuk ke dalam ranah publik.  

Nilai awal yang harus dikembangkan adalah nilai kewargaan, agar setiap masyarakat tidak merasa hanya menjadi 'penduduk' namun 'warga negara' yang mempunyai hak dan kewajiban. Terdapat keseimbangan antara peran pemerintah untuk hadir melayani dengan peran masyarakat madani yang taat dengan hukum. Nilai kewargaan ini juga mencakup pengembangan identitas nasional. 

Selanjutnya, nilai yang perlu dibangun adalah nilai kejujuran. Banyak orang melakukan kebohongan publik saat ini. Maka, perlu dibangkitkan lagi integritas ini di kalangan rakyat maupun birokrasi pemerintah, agar tercipta kejujuran publik dan Indonesia yang bebas dari korupsi. Nilai ketiga yaitu nilai kemandirian. Sebagai bangsa kita sekarang sangat tergantung dengan bangsa lain dalam segala aspek. Bangun kemandirian dengan membenahi kebijakan pembangunan dan regulasi. 

Kemudian, keempat nilai kreativitas. Sumber daya alam terbatas, namun kreativitas tidak terbatas. Karena itu, banyak bangsa berlomba mengasah kreativitasnya. Kebudayaan Nusantara sebenarnya amat kreatif, tetapi kini banyak kebijakan dan regulasi yang menghambat. Dengan revolusi mental kita harus bisa membangkitkannya kembali. 

Kelima, nilai gotong-royong inilah inti dari Pancasila, sebagai andalan bangsa sejak dulu kala. Tetapi, kita merasakan kemerosotan yang dahsyat  baik di komunitas kecil maupun sistem ekonomi dan politik liberal,oligarkis dan monopolistik. Revolusi mental harus mengembalikan karakter gotong-royong dalam bentuk yang lebih modern.

Revolusi Mental (Sumber: Tim Transisi Jokowi-JK)
Keenam, nilai kesetiakawanan sosial. Kesetiakawanan sosial hakekatnya suatu kemauan untuk bersatu dalam solidaritas sosial, kesamaan nasib, dan keinginan menjadi makluk sosial yang saling peduli dan berbagi dalam membangun persaudaraan sejati, persaudaraan masyarakat majemuk Indonesia berbudaya Pancasila. Kepentingan pribadi diletakkan dalam kerangka kesadaran atas kewajiban sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Saat ini perasaan empati, kepedulian sosial dan saling berbagi sebagai ekspresi kesetiakawanan sosial mulai memudar, bergeser kearah sistem perilaku prokelompok eksklusif dan individualis di lingkungan masyarakat. Hal ini pada akhirnya akan memudarkan rasa solidaritas yang akan menganggu stabilitas keamanan nasional.

Selanjutnya, nilai ketujuh merupakan nilai saling menghargai. Sebagai bangsa majemuk, kelangsungan hidup bangsa Indonesia sangat bergantung pada nilai ini. Namun, kita menyaksikan saat ini toleransi dan kesetiakawanan sosial semakin merosot. Kelompok-kelompok ekstrem saat ini tanpa malu-malu menunjukkan bahwa mereka tidak mau menerima kehadiran kelompok lain yang berbeda agama, ras, dan suku. Revolusi mental harus mampu membangun toleransi dan saling menghargai hal ini.

Konsolidasi dan kesepakatan secara nasional menjadi hal yang sangat penting, sebab revolusi mental membutuhkan fokus dan komitmen. Memang masih banyak nilai lain yang penting, namun kita harus memilih yang paling strategis dan dibutuhkan. Hanya dengan cara itulah revolusi mental secara nasional dapat terlaksana. Bangsa seperti Korea dapat dijadikan contoh, dengan gerakan Saemaul Undong yang terdiri dari tiga nilai saja (kerjasama, kemandirian, dan kerja keras)dapat berhasil karena dilakukan secara konsisten dan persisten. 

Retorika Menuju Realitas
Guna merealisasikan konsep revolusi mental, pelaksanaan setiap kegiatan harus memiliki prinsip yang jelas. Revolusi mental bukanlah proyek pemerintah, tetapi gerakan masyarakat yang difokuskan pada pengembangan tujuh nilai strategis diatas. Harus ada komitmen dari pemerintah yang ditandai dengan terwujudnya reformasi birokrasi untuk mendorong dan memfasilitasi perubahan sikap dan perilaku masyarakat.

Gerakan revolusi mental harus dilaksanakan secara lintas sektor dan partisipatoris. Salah satunya dengan penanaman nilai secara berkesinambugan melalui kampanye, aksi sosial, media sosial, film, games, dan pengumuman secara terus menerus di tempat-tempat umum seperti ajakan untuk tetap antre, menjaga kebersihan, dan lainnya. Desain program harus mudah dilaksanakan, populer bagi semua usia, dan sesuai dengan karakter budaya lokal.

Kita harus berubah saat ini, sebab bangsa-bangsa lain sudah jauh lebih maju. Revolusi mental perlu segera dipersiapkan pelaksanaannya, bukan untuk dikaji secara berkepanjangan atau bahkan diperdebatkan. Revolusi mental merupakan janji suci,diharapkan dengan menjalankan nilai nilai tersebut, revolusi mental bukanlah sebuah retorika politis Sang Presiden pilihan rakyat. 

Sepakbola Sebagai Pesan Antirasialisme


Olahraga dapat menciptakan harapan saat keputusasaan mendera –demikian kata-kata yang keluar dari bibir seorang Nelson Mandela-. Ia percaya bahwa nilai-nilai sportivitas, fair-play, dan hiburan dalam olahraga mampu dimanfaatkan untuk merobohkan sekat pemisah kebudayaan bernama rasialisme. Keoptimisan Mandela mengenai peran penting olahraga dalam melawan rasialisme itu merupakan respon dia saat menyaksikan negara yang ia cintai Afrika Selatan, menjadi tuan rumah piala dunia sepakbola. Saat itu, seluruh warga-bangsa Afrika Selatan, baik yang memiliki kulit putih maupun kulit hitam tertawa bersama dan bergembira merayakan pagelaran akbar tersebut. Mandela sepertinya terpukau dengan semangat positif dari olahraga yang sanggup menyatukan bangsa-bangsa dunia dari segala warna. 

Terpukaunya seorang Mandela tersebut terlihat dalam kalimat indah yang ia ucapkan di depan orang banyak saat ‘Sang Madiba’ memberikan sambutan dalam pesta akbar dunia sepakbola itu. Dia dengan penuh optimism berkata:


“Sport can create hope where once there was only despair. It is more powerful than governments in breaking down racial barriers. It laughs in the face of all types of discrimination.”
(Olahraga dapat mencipta harapan di saat keputusasaan menera. Dia (olahraga) lebih kuat daripada pemerintah dalam merobohkan tembok rasialisme. Olahraga sanggup menghadirkan tawa dalam wajah segala tipe diskriminasi)


Kalimat tersebut menegaskan bahwa Mandela mempercayai bahwa olahraga dapat berfungsi menciptakan kualitas kehidupan yang lebih baik. Hal ini terutama dalam rangka merobohkan tembok tebal rasialisme. Peran olahraga ini dianggapnya jauh lebih powerful dibandingkan dengan kekuatan Negara. Ia memiliki mimpi besar agar olahraga menjadi garda depan dalam melawan rasialisme.

Sebagai penikmat sepakbola kita seharusnya dapat memahami dengan baik maksud dari Bapak Anti-Rasialisme itu. Sepanjang hidupnya, sebagian besar dihabiskan untuk memerangi politik rasialisme, apartheid. Politik yang membesarkan kelompok ras tertentu dan disertai dengan melakukan penindasan terhadap ras lainnya. Hingga akhir abad ke 20 Mandela merupakan pemimpin garda terdepan dalam memerangi rasialisme. Dirinya tidak hanya ahli dalam mengolah kata namun juga mampu mematerialkan kata-kata itu menjadi tindakan nyata. Ketika ‘Sang Madiba’ sampai pada tampuk kekuasaan bukan dendam kepada kulit putih yang ia bawa. Hal sebaliknya terjadi, Mandela justru memaafkan semua perlakuan buruk politik apartheid di masa lalu serta mengajak seluruh rakyat Afrika Selatan untuk melakukan rekonsiliasi nasional, agar rakyat berkulit putih dan hitam saling bergandengan tangan membangun negara.

Perjalanan hidupnya yang getir saat melihat aksi rasialisme terjadi membuat Mandela tersadar bahwa rasialisme tidak mampu dilawan dengan dendam yang membara, hukuman, maupun dengan sikap rasialisme baru. Rasialisme hanya dapat dilawan dengan pemaafan dan cinta. Oleh karena itu, dari lubuk hatinya yang terdalam, Mandela sangat berbahagia melihat semua orang, segala bangsa, dan lintas warna kulit tertawa besama-sama menikmati pesta akbar sepakbola. Mandela bahagia karena ternyata olahraga –terutama sepakbola– membawa pesan kemanusiaan yang lebih tinggi daripada sekedar industri dan entertainment. Dalam olahraga itu, Mandela melihat adanya harapan rasialisme memudar di muka bumi.

Namun, harapan kita, kasus-kasus rasialisme tidak muncul lagi di dunia olahraga seperti, sepakbola. Olahraga harus sanggup mewujudkan mimpi Mandela untuk menjadi garda depan merobohkan rasialisme yang merupakan anak kandung dari nasionalisme-chauvinistik. Saya tutup tulisan ini dengan kata-kata penuh tenaga dari seorang pemimpin kulit hitam Amerika Serikat, Martin Luther King, yang perjuangannya melawan rasialisme tidak kalah dari Sang Madiba. Ia bermimpi :
“I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin, but by the content of their character” 
(Saya bermimpi suatu saat keempat anak saya akan menikmati hidup dalam sebuah bangsa yang tidak menilai seseorang berdasarkan warna kulitnya, tetapi berdasarkan watak-karakternya)